Wacana poskolonialisme tidak hanya berkisar
pada teks-teks sastra yang terbit pada masa kolonial, tetapi lebih pada
teks-teks sastra yang mewacanakan atau menampilkan jejak-jejak kolonialisme.
Kajian poskolonial berusaha membongkar selubung praktik kolonialisme di balik
sejumlah karya sastra, termasuk puisi. Karya sastra, terutama yang
bergenre puisi, dipandang memiliki kekuatan baik sebagai pembentuk hegemoni
kekuasaan atau sebaliknya sebagai perlawanan atau resistensi terhadap hegemoni.
Dalam puisi Indonesia modern, bentuk-bentuk kolonialisme cukup banyak terkandung di dalamnya. Sajak-sajak yang menampakkan fenomena poskolonial tersebut di antaranya sajak-sajak para penyair terkenal di Indonesia, seperti W.S. Rendra, Emha Ainun Nadjib, Taufik Ismail, Wiji Thukul, dan Remy Sylado. Bentuk-bentuk poskolonial masa kini yang dikemukakan dalam sajak-sajak tersebut sebagian besar ditujukan sebagai perlawanan terhadap kekuasaan.
Di dalam sajak-sajak tersebut terkandung
masalah-masalah yang terkait dengan konsep poskolonial, yakni persoalan relasi
yang berbentuk “dominasi-subordinasi”. Relasi tersebut terjadi dari level
makro sampai mikro, mulai dari antarnegara sampai dengan antarlevel dalam
masyarakat, bahkan sampai dengan antarjenis kelamin. Dalam tulisan ini
akan dibahas beberapa fenomena poskolonial yang terkandung dalam puisi
Indonesia modern, seperti hibriditas, mimikri, golongan subaltern, diskriminasi
terhadap perempuan, dan tradisi penemuan (invented tradition).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar